Jimat Hati


Orang dulu, untuk menguatkan dirinya, pegang jimat. Barang aji kang dirumat. Sesuatu yang dihormati, yang juga senantiasa dirawat. Jimat jaman dulu identik dengan benda pusaka: keris, cincin. akik, kalung, dll. 

Jimat itu dijadikan pegangan. Kemana saja, dibawa. Menjadi pegangan. Menjadi tameng. Meneguhkan jiwa supaya tidak mudah goyah. Dikisahkan, sahabat Khalid bin Walid, panglima perang yang tak pernah kalah itu, ternyata dia menyimpan sehelai rambut Nabi Muhammad. Dia selipkan di penutup kepalanya. Lebih-lebih ketika berangkat perang, sudah pasti itu dia bawa. Hasilnya sudah terbukti: selalu menang. 

Selain bentuk fisik, jimat juga dalam bentuk bacaan. Bisa mantra. Bisa surat atau ayat dalam kitab suci. Bisa wirid. Bisa juga dzikir tertentu. Yang dibaca setiap hari. Setiap pagi. Setiap sore. Setiap malam. Pada jam tertentu. 

Sensasi yang dirasakan, sama dengan yang membawa jimat fisik. Yakni, begitu selesai dibaca, hati jadi tenang. Tidak mudah goyah. Lebih sadar dan waspada. Begitu berhadapan dengan masalah, kepala tetap dingin. Tidak mudah marah. 

Namun ada kelemahan soal jimat ini. Kalau lupa bawa,  orangnya jadi rendah diri. Kalau lupa dipakai, jadi tidak percaya diri. Kalau lupa baca, menjadi kurang yakin dalam mengambil keputusan. 

Kalau dipikir jernih, sebetulnya bukan jimat itu yang membuat orang jadi penuh keyakinan. Jimat itu tidak mempunyai kekuatan apapun. Dia hanya berfungsi sebagai jangkar memori. 

Pernahkan mendengar musik tertentu, kemudian ingat situasi tertentu? Misal mendengar lagu we are the champions-nya Queen, tiba-tiba ingat momen menang olimpiade. Lalu hati jadi begitu yakin, begitu mantab. Atau mendengar rintikan air hujan, tiba-tiba lapar, kepingin makan mie hangat atau minum teh hangat. Itulah yang disebut jangkar memori. 

Lagu we are the champions, atau rintikan air hujan sebetulnya tidak ada bermakna apapun. Namun memori yang bersamaan dengan momen itulah, yang muncul. Yang membuat orang jadi merasakan emosi tertentu. Sehingga muncul semangat tertentu. Ingin melakukan tindakan tertentu. 

Yang terjadi sesungguhnya adalah orang bawa jimat waktu ujian, eh ternyata lulus. Baca wirid sebelum naik panggung, eh ternyata lancar. Baca dzikir saat setor lamaran, eh ternyata diterima kerja. Jadi muncul hubungan memori dan emosi, yang aslinya tidak ada kaitannya. Jimat + ujian = lulus. Wirid + naik panggung = lancar. Dzikir + lamaran = diterima. 

Pertanyaannya, bagaimana orang ko' bisa lulus? Ya, karena dia bisa menjawab soal dengan benar. Bagaimana bisa, orang menjawab dengan baik? Karena hatinya tenang. Kalau bimbang, tak mungkin bisa menjawab mantap. Bagaimana orang bisa lancar perform? Karena tidak demam panggung. Bagaimana bisa tidak demam panggung? Karena hatinya mantap. Kalau deg-degan berlebih, mana bisa tampil optimal.

Jimat -> hati tenang = tindakan optimal = berhasil. 

Jimat "mengantarkan" orang sampai pada suasana batin yang tenang. Dari hati tenang, seseorang bisa optimal memproduksi tindakan. Dari kumpulan tindakan positif itulah muncul keberhasilan. 

Ternyata penentunya, bukanlah jimat atau mantra itu. Namun hatinyalah yang jadi sumber tindakan, yang ujungnya berbuah keberhasilan. 

Posisi jimat hanyalah sebagai alat bantu seperti kaca mata. Kaca mata bagi orang yang matanya bermasalah, sehingga tidak bisa melihat dengan jelas kata hatinya. Namun bagi yang matanya normal, dia bisa melihat dengan jelas petunjuk suara hatinya, maka tidak perlu kaca mata. 

Istafti Qalbak. Jadikan hatimu sebagai pegangan. Dengar kata hatimu. Dari situ, Tuhan selalu membimbingmu, lalu lakukan sesuatu!